Mangunwijaya dalam Novel

::  ERWIN EDHI PRASETYO

 

 

Membaca novel Romo Mangun berarti membaca humanisme yang dikembangkan Mangunwijaya. Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel, serta tindakan konkret Romo Mangun, menunjukkan sosok multidimen- si dan multiperhatian.

 

Setiap dimensi itu diisinya dengan penuh kesungguhan dan dengan energi yang hampir tanpa batas. Melalui novel, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat jelas dan memakainya sesuai kebutuhan. Romo Mangun adalah sosok pendongeng yang murah hati. Ia bercerita dengan lincah, dengan gaya bahasa sederhana sehingga pembaca dengan mudah bisa menyelami isi novelnya.

 

Mangunwijaya benar-benar merayakan perbedaan cara bertutur di dalam novelnya. Kadang seorang Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada cucunya, misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan riang walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.

 

Trilogi roman sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa dibilang merupakan novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan. Novel ini bisa dinikmati oleh beragam kalangan yang punya selera rasa berbeda-beda. Ditambah Durga Umayi dan Burung-burung Manyar, kedua novel itu memenuhi resep manjur cerita, yakni memiliki karakter terfokus dan terbatas. Ada ketegangan asmara dan soal hidup mati. Novel-novel ini menunjukkan Romo Mangun adalah pencerita piawai dengan tetap berusaha menjaga kedalaman sastra.

 

Teks-teks gelap

 

Dari sisi gaya penulisan, Romo Mangun tampak mengambil jalan yang unik. Yang dilakukannya berbeda dengan kaidah umum tulisan, misalnya dalam dunia media massa, bahwa paragraf awal harus dibuat semenarik mungkin, sebab paragraf awal bagaikan sinar yang akan menerangi teks-teks di bawahnya. Romo Mangun, dalam rumusan Ayu Utami, justru menempatkan ”teks-teks gelap” sebagai paragraf pembuka yang dinamai sendiri oleh Romo Mangun sebagai teks ”prawayang”.

 

Di sisi lain, yang menarik dari novel-novel Mangunwijaya ialah selalu konsisten tidak pernah menggambarkan tokoh lelaki superideal pujaan setiap wanita. Karakter ini mirip seperti tokoh Minke dalam tetralogi Pramoedya Ananta Toer atau Ahmad dalam Grotta Azzura karya Sutan Takdir Alisjahbana.

 

Mangunwijaya juga tak mau terjebak pada stereotip Barat sebelum postmodern yang membagi perempuan dalam dua karakter utama; perawan murni yang baik-baik dan perempuan penggoda, perempuan korban dan femme fatale. Ia melukiskan tokoh-tokoh perempuan yang senang dengan tubuh mereka tanpa mengeksploitasi seksualitas dan birahi perempuan.

 

Keindonesiaan

 

Tidak berbeda dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti Pramoedya dan Sutan Takdir, Mangunwijaya di hampir semua karyanya juga bercerita tentang keindonesiaan, tentang terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis melalui pemikirannya yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari kebanyakan kisah-kisah sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, dengan berani ia membuat dialog yang mengolok-olok mereka yang dianggap pahlawan, tetapi tanpa ada kebencian di dalamnya.

 

Meski kini bangsa Indonesia sudah lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan fisik, toh cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru, modernitas, dan kapitalisme global kini gantian memerkosa (Ibu) Pertiwi. Perkosaan ini menjadikan Pertiwi layu dan tak berdaya, miskin yang selanjutnya melahirkan kekerasan-demi kekerasan menuntut keadilan. Dari kisah ini pun tertangkap pesan kamanusiaan Romo Mangun, kekerasan hanya akan menghasilkan perlawanan dan kekerasan yang lain sehingga akan saling meniadakan dan menghancurkan.

 

Dalam novel Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, sikap Mangunwijaya terhadap penjajahan jelas terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses makan dimakan. Ikan besar (hiu) memakan ikan kecil (ido), ikan kecil (ido) memakan ikan lebih kecil (homa). Oleh karena itu, Ayu Utami menggolongkan karya sastra Romo Mangun dalam kanon sastra Indonesia. Mangunwijaya disejajarkan dengan Pramoedya dan Sutan Takdir.

 

Dengan kanon sastra itu berarti karya-karya mereka masuk dalam kesusastraan yang wajib dibaca orang-orang sekolahan untuk memahami keindonesiaan, yang sekaligus juga menjadi patok, tonggak kebesaran kesusastraan Indonesia. Membaca karya ketiga tokoh itu akan mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci dunia melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan identitas yang kini menjadi pemecah belah manusia.

Independensi Birokrasi dalam Pemilukada

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

 

 

     “Jika ada PNS yang terbukti terlibat pasti ada sanksi tegas sesuai ketentuan dalam disiplin pegawai. Memang, tidak ada laporan resmi ke Inspektorat, namun tidak sedikit ditemukan indikasi PNS yang terbukti memberikan dukungan pada cawali atau cawawali tertentu,”

                            (Subari, Kepala Inspektorat Pemkot Malang, ANTARA, 14 Oktober 2012)

 

    

     Mengemukanya sejumlah nama birokrat, kandidat incumbent, maupun pribadi yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent dalam sederet Pemilukada di daerah tingkat dua di Jawa Timur menjadi petanda tak terelakkan betapa soliditas dan netralitas birokrasi (PNS) di masing-masing wilayah sedang dipertaruhkan. Seakan sedang melewati titian serambut yang dibelah tujuh, netralitas PNS di masing-masing wilayah di atas benar-benar diuji. Mengingat, adalah sebuah rahasia umum betapa kerasnya kelindan politik dalam sebuah pesta demokrasi penentuan kepala daerah.

     Realita dinamika politik seperti ini merupakan keniscayaan, mengingat kandidat incumbent dan birokrat-birokrat yang berkepentingan dengan hasil akhir Pemilukada sangat berpeluang untuk memobilisasi aparatnya dan menggunakan infrastruktur birokrasi demi mengegolkan syahwat politiknya.

     Pada babak inilah, penempatan birokrasi sebagai mesin politik berpotensi menjadi sebuah kelaziman. Apalagi, beberapa nama yang telanjur mengemuka dalam bursa cabup/cawabup maupun cawali/cawawali posisinya sangat dekat dengan sumbu kekuasaan di masing-masing daerah. Soliditas PNS pun rentan terhadap pengklasifikasian peta konstituen yang disusun oleh masing-masing kubu tim sukses.

     Adanya syahwat politik dalam benak aparatur negara di lingkungan birokrasi menciptakan atmosfer kinerja yang tidak harmonis, bahkan saling mencurigai dan menjatuhkan. Pada momentum ini, kualitas pelayanan publik pun berpotensi mengalami dekadensi. Lebih ironis lagi apabila dalam kelindan politik tersebut, para kandidat ‘mengoptimalkan’ APBD dan fasilitas negara untuk tujuan politik pribadi.

     Potensi ‘optimalisasi’ APBD dan fasilitas negara ini biasanya dilakukan dengan modus operandi mengkorupsi dan pengklaiman program-program tertentu pemerintah daerah seakan bisa diluncurkan atas perjuangan nama atau kekuatan politik tertentu.

     Penggunaan birokrasi sebagai mesin politik benar-benar berpotensi menjadi nyata di depan mata mengingat nihilitas kewibawaan lembaga pengawas internal PNS (Bawasda) dan eksternal (Panwaslu) untuk memberi sanksi hukum yang tegas dan keras terhadap birokrat yang terlibat sebagai alat politik kubu tertentu dalam pemilukada. Faktanya, selama ini kasus-kasus yang menunjukkan ketidaknetralitan PNS tidak pernah jelas ujung-pangkalnya.

     Padahal, dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, telah mengatur aparatur negara untuk netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, tidak diskriminatif pelayanan publik, dan dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik tertentu. Pelanggaran terhadap UU ini menuai sanksi tegas berupa pemberhentian sebagai PNS.

     Merujuk pada UU ini, semestinya para PNS sebagai infrastruktur yang menjadi model pembelajaran bagi publik pun patuh dan menempatkan arena politik praktis sebagai wilayah terlarang (forbidden district).

     UU yang mengatur netralitas PNS dalam politik praktis selama ini tidak bisa ditegakkan secara penuh karena minimnya political will dari pemerintah pusat maupun daerah untuk berani katakana “tidak” pada penggunaan birokrasi sebagai mesin politik. Ironisnya, realita yang ada justru menunjukkan betapa birokrasi dalam setiap kompetisi politik justru garda depan mesin politik. Apalagi, jika kandidat yang bersyahwat politik adalah adalah incumbent dan atau pribadi yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent, seperti istri, adik, anak, keponakan, dll.

     Ke-afdhal-an penggunaan birokrasi sebagai mesin politik didasari oleh potensi strategis yang melekat di tubuh birokrasi itu sendiri. Birokrasi memiliki modal soliditas, sederet perangkat, fasilitas, akses dan anggaran paling mapan di antara elemen-elemen publik yang lain, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi ekonomi, bahkan organisasi politik itu sendiri. Potensi strategis yang melekat pada eksistensi birokrasi kita pasti lebih mujarab didayagunakan untuk mendongkrak elektabilitas ketimbang elemen-elemen publik yang lain.

     Potensi strategis yang melekat pada eksistensi birokrasi inilah yang menjadi rahasia kesuksesan kandidat-kandidat incumbent dalam gelaran pemilukada di wilayah Jawa Timur sebelum-sebelumnya. Pengalaman politik mereka menjadi ‘pelajaran berharga’ warga Jawa Timur yang tahun depan berkehendak menyalurkan syahwat politiknya agar sukses menduduki kursi orang nomor satu-nomor dua di daerahnya masing-masing.

     Rentannya penggunaan birokrasi sebagai mesin politik semua elemen publik untuk bersinergi fokus menempatkan ruang pandang secara ketat pada sepak terjang para kandidat bersama tim suksesnya, terutama dari yang beraroma incumbent. Komitmen ini hendaknya juga diikuti oleh institusi pengawasan di internal birokrasi, Bawaslu, Panwaslu, LSM, dan media massa di masing-masing daerah. Komitmen ini seyogyanya juga didasari ekspektasi luhur yaitu tegaknya aturan perundang-undangan agar kualitas demokrasi lebih baik.

 

 

**************

 

*) Litbang LBTI, Pemerhati Birokrasi Kota Malang

 

Tiga Komponen Kritis Hermeneutik

Oleh Faiz Manshur

 

Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari.

Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya.

Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa.

Memang sebuah intrepretasi akan sarat dengan muatan tafsir, sengaja atau tidak sengaja, yang menjadi persoalan dengan tafsir bahasa adalah pencarian hakekat kata-kata yang tersurat dan tersirat. Karena hakekatnya adalah mencari kebenaran, dimensi filosofis tafsir sangat dibutuhkan. Namun, karena hakekat filsafat itu sendiri adalah keseluruhan interpretasi dan tafsir, antara filsafat dan hermeneutik tidak terlalu jauh dipersoalkan.

Dalam bidang hermeneutik ini hingga sekarang terdapat dua pendekatan yang bersumber dari dua aliran yang berbeda. Pertama apa yang kita kenal aliran hermeneutik yang bersumber pada linguistik.

Tradisi ini dipelopori oleh karya revolusioner Ferdinand de Sausure yang dipengaruhi oleh kajian-kajian formal sarjana Rusia dan Cekoslowakia, dan memiliki gaung yang simpatik dalam karya Noam Comsky. Pendekatan ini biasanya tidak disebut sebagai ”hermeneutik”, melainkan ”strukturalisme”. Pendekatan kedua berakar dari tradisi Hegel dan Marx, Fenomenologi, dan kajian linguistik sebagaimana yang dipakai pendekatan pertama.

Dua aliran di atas ini banyak diamati oleh para pakar filsafat-hermeneutik sebagai kajian memungkinkan terbukannya metode-metode baru dalam menafsirkan bidang-bidang yang kini terus bermunculan dalam bentuk spesialisasi ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, jika pembaca ingin menaruh kajian hermeneutik yang baru, buku ini layak disebut sebagai kecenderungan membuka metode penafsiran baru tersebut. Lain dengan kedua metode di atas, buku yang ditulis oleh Roy J. Howard ini berhasil melebarkan teori hermeneutik sebagai bagian dari filsafat gaya baru.

Ada tiga hal yang ditemukan oleh pemikir postmodernis ini. Pertama adalah ”hermeneutik analitis”. Penambahan kata ”analitis” dalam ”hermeneutik” di sini dimaksudkan agar hermeneutika bukan hanya menafsir teks-teks dalam batas kategori pemaknaan filosofis-historis seperti yang biasa dilakukan para pemikir linguistik. Howard di sini menambahkan bahwa pendekatan logika intersubjektif, atau lebih dikenal dengan istilah logika intensi atau juga memakai pendekatan silogisme praktis dan peran eksplorasinya (hal 60).

Kedua, penulis memperkenalkan istilah ”hermeneutika psikososial”. Teori ini berangkat dari penolakan atas kecenderungan hermeneutika mono—metodelogi baik dari positivisme maupun Marxisme Klasik yang sering menyajikan spekluasi Marxisme yang telah berkembang dan cukup mengabungkan beberapa prinsip metodelogi dari pemahaman simbol karya Freud (hal 12) dengan melakukan eksplorasi atas filsafat kritis mazhab Frankfrut (Jurgen Habermas), Howard mencoba memberikan satu premis-premis dasar bagaimana memahami bahasa dalam konteks psikososial masyarakat modern. Dan, ketiga, Howard menyuguhkan satu teori baru hasil pengembangan teori Gadamer. Teori Gadamer yang sebelumnya kritis dalam mengkritik filsafat hermeneutik perspektif humaniora dengan jalan ontologisnya dipilih Howard sebagai pijakan dalam menganalisis bahasa. Dalam bagian ini, pembaca akan disuguhkan bagaimana sebenarnya teori permainan bahasa Gadamer yang sebenarnya cukup kritis untuk menelaah kondisi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia.

Dalam konteks pelebaran metodelogi inilah, perkembangan selanjutnya hermeneutik ternyata sangat dibutuhkan para pemikir bukan hanya dalam bidang sastra dan bahasa semata, melainkan juga melebar pada studi bidang lain, misalnya humaniora, sains, sejarah, agama (kitab suci), dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hampir semua bidang keilmuan tersebut dapat dipastikan berhubungan dengan teks-teks bahasa. Buku ini tidak mengklaim diri sebagai laporan studi yang mendalam dan tidak pula menampilkan semua bentuk paparan hermeneutika mutakhir. Namun dengan perhatian terhadap tiga komponen hermeneutik tersebut, buku ini layak disebut sebagai satu penelaahan baru atas pemetaan metodelogi hermeneutik model postmodernisme yang kini sedang berkembang.

Pengertian Pendidikan Karakter

 

 

Menurut Elkind & Sweet (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

 

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.

 

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka  tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan  pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian  yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

 

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan karakter.  Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)  mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur  moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni:  perilaku, kognisi, dan afeksi.

 

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

 

 

Dasar-Dasar Jurnalistik untuk SMP

Berita dan Jenis-Jenisnya

 

Gambar

 

 

Pengertian

Secara etimologis, kata jurnalistik berasal dari kata journalistic (Inggris) yang berarti hal-ihwal atau kegiatan kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Di Indonesia istilah jurnalistik diduga masuk melalui bahasa Belanda journalistiek yang artinya penyiaran catatan harian. Kata jurnalistik dibentuk dari kata dasar jurnal (journal), yang berarti laporan atau catatan.  Dalam bahasa Prancis jour berarti hari atau catatan harian.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,  jurnalistik diartikan sebagai (1) … hal-ihwal yang menyangkut dunia atau kegiatan kewartawanan dan persuratkabaran; (2) kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, atau berkala lainnya. Dalam Ensiklopedia Indonesia, jurnalistik diartikan sebagai bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada. Sedang dalam Leksikon Komunikasi jurnalistik dimaknai sebagai pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting dan menyebarkan berita dan karangan utuk surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi. Jurnalistik merupakan proses kegiatan mengolah, menulis, dan menyebarluaskan berita dan atau opini melalui media massa. (Asep Syamsul M. Romli. 2003. Jurnalistik Dakwah. Bandung: Rosda).

 

 

Berita

Berita yang merupakan produk kegiatan jurnalistik dimaknai sebagai laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar penduduk (Michael V. Charn, dalam Effendy, 1992:67). Definisi lain menyebut berita sebagai laporan peristiwa (a report of an event) (Ecip, 1995:48).

News is anything timely that interests a number of readers, and the best news is that which has the greatest interest for the greatest number of readers” (Berita adalah segala sesuatu yang hangat, yang menarik sejumlah pembaca dan berita yang terbaik adalah berita yang paling menarik perhatian bagi jumlah pembaca yang paling besar). Ini pendapat Dr. Williard G. Bleyer. Jadi, menurut definisi Bleyer, berita mempunyai komponen berikut.

  1. Segala sesuatu
  2. Hangat
  3. Menarik perhatian
  4. Sejumlah khalayak.

 

Douglas Wood Miller menyatakan bahwa minat pembaca terpenuhijika berita itu memenuhi syarat (Mardjuki, 1984:5)) berikut ini :

  • Waktu
  • Tempat
  • Isi

 

Hal utama yang berkaitan dengan berita adalah peristiwa. Peristiwa ialah realitas atau fakta yang direkam (oleh wartawan), dan pada gilirannya dilaporkan secara terbuka melalui media massa. Laporan tersebut berupa rekonstruksi atas peristiwa, yang berarti luas, antara lain meliputi keterangan, peristiwa, suasana, manusia dan pendapat (Ecip, 1995:48).

Frank Luther Mott dalam New Survey of Journalism menyatakan bahwa paling sedikit ada delapan konsep berita, yaitu: (1) berita sebagai laporan tercepat (news as timely report), (2) berita sebagai rekaman (news as record), (3) berita sebagai fakta obyektif (news as objective facts), (4) berita sebagai interpretasi (news as interpretation), (5) berita sebagai sensasi (news as sensation), (6) berita sebagai minat insani (news as human interest), (7) berita sebagai ramalan (news as prediction), (8) berita sebagai gambar (news as picture).

Berita juga dapat dipandang dari sisi komunikator. Menurut Hiebert, Ungurait, Bohn (1991:413), berita adalah “apa yang menyebabkan individu mau membayarnya dengan uang atau waktu” (“what an individual is willing to pay for with time and money”). Karena tidak semua peristiwa layak dijadikan berita, maka untuk itu diperlukan persyarat penting berupa nilai berita (“news must have some intrintsic value to the individual”).

 

 

Ragam Berita

Menurut Siregar dkk (1998:154),  berita jurnalistik yang muncul dalam surat kabar atau majalah berita dapat digolongkan menjadi empat. Masing-masing ialah berita langsung (stright/hard/spot news), berita ringan (soft news), berita kisah (feature), dan laporan mendalam (indepth report). Berikut rinciannya.

 

Berita Langsung

(Straight News/Hard News/Spot News)

Berita langsung digunakan untuk menyampaikan kejadian-kejadian penting yang perlu segera diketahui oleh pembaca. Disebut berita langsung (straight news) karena unsur-unsur terpenting dari peristiwa itu harus langsung (sesegera-segeranya) disampaikan kepada pembaca.

Berita langsung dapat juga yang disebut sebagai spot news. Jika berita bersifat “spot”, maka wartawan harus berhadapan langsung dengan kejadian, lalu melaporkan kejadian itu. Jika tak dapat dihadapi secara langsung, wartawan terpaksa “meminjam” persepsi orang lain terhadap kejadian tersebut. Melalui persepsi orang itu, wartawan menyusun kembali (merekonstruksi) kejadian.

Berita langsung juga disebut hard news, menimbang bahwa fakta yang digunakan untuk memberitakan suatu peristiwa adalah fakta keras.  Fakta keras ialah fakta yang segera dapat diukur berdasarkan persepsi inderawi manusia.

Aktualitas merupakan unsur penting dalam berita langsung. Suatu kejadian yang sudah lama terjadi, tidak bernilai lagi untuk ditulis sebagai berita langsung. Kejadian yang telah lama terjadi hanya layak diberitakan jika ada unsur kuat lainnya selain aktualitas, dan biasanya ditulis sebagai berita ringan atau berita kisah.

Berapa lama kejadian dapat dianggap aktual? Untuk surat kabar harian, kejadian kemarin dapat dianggap aktual (selama belum dimuat di surat kabar lain). Bisa juga kejadian yang sudah berusia dua hari, bahkan seminggu, tetap dianggap aktual, karena kejadian itu baru saja diketahui, misalnya gempa bumi di pedalaman Papua. Langkanya alat transportasi atau komunikasi menyebabkan kabar terjadinya gempa tersebut terlambat diketahui. Meskipun yang ditonjolkan bukan lagi unsur waktu, melainkan makna kejadian itu.

Yang penting, suatu kejadian akan kehilangan aktualitasnya jika sudah dimuat dalam surat kabar lain. Namun, aktualitas tidak hanya berkaitan dengan waktu, melainkan juga mencakup sesuatu yang baru diketahui, atau sesuatu yang baru ditemukan, misalnya cara baru, ide baru, langkah baru, serta perkembangan mutakhir. Semuanya itu memiliki makna penting bagi keadaan sekarang. Oleh karena itu, penerbitan yang tidak bersaing dalam hal aktualitas, harus mencari unsur lain yang terdapat dalam suatu kejadian, antara lain dengan memberikan latar belakang yang sifatnya manusiawi.

 

Berita Ringan (Soft News)

Berita ringan tidak mengutamakan unsur penting yang hendak diberitakan, melainkan sesuatu yang menarik. Berita ini biasa ditemukan sebagai kejadian yang menusiawi dalam suatu kejadian penting. Kejadian yang penting tersebut dituliskan sebagai berita langsung, sedang yang menyangkut unsur manusiawi ditulis sebagai berita ringan.

Berdasarkan kejadiannya, berita ringan dibedakan atas dua jenis. Pertama, berita ringan yang kejadiannya merupakan sampiran dari peristiwa penting yang diberitakan lewat berita langsung (disebut side bar). Kedua, berita ringan yang kejadiannya berdiri sendiri, jadi tidak terkait dengan suatu peristiwa penting yang bisa dituliskan sebagai berita langsung. Berita ringan jenis kedua dapat “bertahan” lebih lama, tidak terikat aktualitas. Jenis berita ini memberikan langsung ganjaran psikologis bagi pembacanya, misalnya keterharuan, kegembiraan, dsb. Bahan yang ditulis sebagai berita ringan adalah kejadian pada permukaan saja, tidak perlu melacak latar belakangnya.

Apa saja unsur menarik yang dapat dijadikan materi penulisan berita ringan? Unsur menarik ini, bukan sesuatu yang penting dan berdampak langsung kepada pembaca, melainkan semata-mata hanya memberikan sentuhan emosional. Hal-hal semacam itu terdapat dalam kejadian-kejadian yang mencerminkan kekonyolan (komedi), dramatis, kontroversial, tragis, atau unik (di luar kebiasaan, atau jarang terjadi).

Seorang tokoh terkenal yang selama ini diketahui selalu bersantap di  restoran mewah, tiba-tiba terlihat menikmati makan siang di sebuah warung di pinggir jalan. Unsur ketenaran tokoh tersebut, dan juga tindakannya di luar kebiasaan, dapat menjadikan peristiwa itu sebagai berita ringan yang menarik.

 

Berita Kisah (Feature)

Berita kisah adalah tulisan mengenai kejadian yang dapat menyentuh perasaan, ataupun yang menambah pengetahuan pembaca lewat penjelasan rinci, lengkap, serta mendalam. Berita ini tidak terikat aktualitas. Nilai utamanya terletak pada unsur manusiawi atau informasi yang dapat menambah pengetahuan.

Berita kisah dapat ditulis dari kejadian yang sudah masuk kotak sejarah, misalnya kejadian manusiawi yang dialami para tokoh terkenal pada masa lampau. Hal seperti itu layak ditulis jika ternyata ada sesuatu yang baru tentang mereka yang belum pernah diungkapkan, dan penting mendapat perhatian karena ada kaitannya dengan kondisi sekarang.

Untuk peristiwa atau masalah yang bersifat kekinian, bila dituliskan dalam format berita kisah, waktu tidak menjadi kriteria utama, melainkan urgensi peristiwa atau masalah untuk mendapat perhatian. Berita kisah yang ditulis berdasarkan peristiwa yang baru terjadi, disebut news feature. Kalau pada berita langsung unsur pentinglah yang ditonjolkan, maka pada berita kisah yang tergolong news feature, unsur penting dan unsur menarik ditonjolkan sekaligus. Ada alasannya? Pertama, berita kisah umumnya ditulis karena peristiwa atau masalah yang diberitakan luas cakupannya. Kedua, dampak peristiwa atau masalah itu sendiri juga menyangkut kehidupan masyarakat luas. Ketiga, dibutuhkan uraian yang lebih panjang dan rinci, sehingga pembaca dapat memahami secara baik duduk perkara sebenarnya.

Gejala perubahan kehidupan masyarakat, misalnya, yang belakangan banyak beralih dari kehidupan agraris ke kehidupan industrial, terlihat sebagai hal biasa yang wajar saja. Padahal, banyak konsekuensi yang timbul akibat perubahan semacam itu. Misalnya, kota semakin padat, pengangguran dan kriminilitas meningkat, fasilitas semakin tak memadai lagi. Persoalan-pwrsoalan seperti itu dapat menjadi bahan bagus untuk menulis berita kisah.

Perjuangan keras seorang  pengembang, sejak dari tukang kayu menjadi pengusaha real estate, misalnya, dapat ditulis menjadi berita kisah. Berita kisah semacam ini dikenal dengan sebuat profile   feataure. Profile feature tentu saja tak hanya menyangkut cerita sukses. Cerita kegagalan juga dapat menjadi berita kisah. Jadi,  profile feature dapat menceritakan perjalanan hidup seseorang, bisa pula hanya menggambarkan sepak terjangnya dalam suatu kegiatan dan pada kurun waktu tertentu. Yang penting, dalam berita kisah, unsur manusiawi berperan penting, karena itulah yang ditonjolkan. Ini bertujuan agar pembaca dapat bercermin lewat kehidupan orang lain.

Berita kisah tidak selalu menonjolkan unsur manusiawi (human interest) yang menyentuh perasaan. Ada berita kisah yang menguraikan profil suatu perusahaan atau organisasi, menceritakan bagaimana perusahaan atau organisasi itu digerakkan untuk mencapai tujuannya.

Ada pula berita kisah yang menjelaskan proses atau bagaimana melakukan sesuatu (how to do it feature). Dalam berita kisah jenis ini, informasi yang disampaikan lebih sebagai petunjuk yang dipandang penting bagi pembaca. Misalnya, petunjuk melakukan perjalanan wisata lewat darat, dengan menyajikan keterangan di mana terdapat hotel, pompa bensin, rumah makan, lengkap dengan perkiraan biaya, kualitas jalan.

Human interest feature menonjolkan hal-hal yang menyentuh perasaan sebagai hal menarik. Jadi, untuk berita kisah ini dapat ditulis tentang peristiwa atau masalah yang dialami manusia, baik yang sudah mendiang maupun yang masih hidup. Selain itu, juga dapat mengenai makhluk ataupun benda lain yang dapat diungkapkan sehingga menggugah perasaan pembaca, atau tentang duduk perkara suatu permasalahan yang sedang dihadapi sekelompok orang.

Berita kisah digunakan untuk mengangkat nuansa atau warna detil kehidupan, hal yang sering tidak mungkin dilakukan lewat berita langsung. Berita langsung, karena lebih merupakan potret sesaat dari suatu kejadian atau harus memenuhi aktualitas, dalam banyak hal hanya mampu mengungkapkan gejala yang tertangkap oleh inderawi. Berita kisah dapat mengatasi kendala itu. Persoalan aktualitas tidak menjadi kendala bagi berita kisah. Itulah sebabnya berita kisah tergolong berita yang dapat ditulis penuh warna.

Berita kisah, begitu pula laporan mendalam, yang menjadi andalan sering dimuat sebagai anker (jangkar, anchor) pada halaman depan surat kabar, atau laporan utama dalam rubrik khusus,  edisi minggu, maupun suplemen (halaman tambahan, sisipan). Berita kisah yang cukup panjang kadang-kadang dimuat secara serial (disebut juga dalam sejumlah episode) pada hari yang berurutan.

 

Berita Mendalam (Indepth News)

Laporan mendalam pada dasarnya memiliki struktur dan cara penulisan yang sama dengan berita kisah. Perbedaannya terletak pada adanya unsur manusiawi yang terdapat dalam berita kisah, yang belum tentu ditemukan dalam laporan mendalam.

Laporan mendalam digunakan untuk menuliskan permasalahan secara lebih lengkap, mendalam, dan analitis. Cara penulisan seperti ini dimaksudkan untuk menyajikan informasi agar pembaca lebih memahami duduk perkara suatu masalah.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering muncul peristiwa yang cukup rumit. Kerumitan masalah dalam peristiwa itu menyebabkan pembaca belum dapat memahami duduk perkara sebenarnya jika hanya diungkapkan melalui berita langsung. Pembaca belum tentu juga dapat mengerti jika masalah dijelaskan dengan menggunakan hanya satu sudut pandang. Kompleksitas permasalahan menyebabkan peristiwa itu perlu disoroti lewat sejumlah sudut pandang agar pembaca memperoleh pemahaman lebih baik, lengkap dan menyeluruh.

Dengan laporan mendalam, ke arah mana suatu peristiwa berkembang akan lebih mudah dipaparkan. Begitu pula kaitan antara sebab dan akibat, apa saja kepentingan sejumlah pihak dalam perkembangan persoalan itu, bagaimana kepentingan itu mempengaruhi arah perkembangan persoalan, termasuk apa saja yang mungkin timbul, menjadi sorotan dalam laporan mendalam.

Sering kaitan sebab-akibat, begitu pula kepentingan sejumlah pihak, tidak tampak jelas di permukaan. Sejumlah fakta harus dikumpulkan jauh ke belakang, sebelum peristiwa muncul. Semua fakta itu harus ditelusuri kaitannya satu demi satu terhadap perkembangan yang muncul kemudian.

Laporan mendalam ditulis berdasarkan hasil liputan terencana, dan acap memerlukan waktu lama. Cara peliputan seperti peliputan interpretatif atau investigasi, antara lain dilakukan ketika mengumpulkan fakta yang diperlukan untuk menyusun tulisan. Peliputan interpretatif dilakukan apabila untuk menggambarkan duduk perkara dari masalah yang diliput, diperlukan kemampuan interpretasi dalam melihat keterkaitan logis antar sejumlah fakta. Adapun peliputan investigatif dilakukan apabila ada sejumlah pihak untuk menutupi kejadian sebenarnya, atau menyembunyikan sejumlah fakta.

 

 

 

Willy Pramudya

Slamet Nur Achmad Effendy