Independensi Birokrasi dalam Pemilukada

Oleh Anjrah Lelono Broto *)

 

 

     “Jika ada PNS yang terbukti terlibat pasti ada sanksi tegas sesuai ketentuan dalam disiplin pegawai. Memang, tidak ada laporan resmi ke Inspektorat, namun tidak sedikit ditemukan indikasi PNS yang terbukti memberikan dukungan pada cawali atau cawawali tertentu,”

                            (Subari, Kepala Inspektorat Pemkot Malang, ANTARA, 14 Oktober 2012)

 

    

     Mengemukanya sejumlah nama birokrat, kandidat incumbent, maupun pribadi yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent dalam sederet Pemilukada di daerah tingkat dua di Jawa Timur menjadi petanda tak terelakkan betapa soliditas dan netralitas birokrasi (PNS) di masing-masing wilayah sedang dipertaruhkan. Seakan sedang melewati titian serambut yang dibelah tujuh, netralitas PNS di masing-masing wilayah di atas benar-benar diuji. Mengingat, adalah sebuah rahasia umum betapa kerasnya kelindan politik dalam sebuah pesta demokrasi penentuan kepala daerah.

     Realita dinamika politik seperti ini merupakan keniscayaan, mengingat kandidat incumbent dan birokrat-birokrat yang berkepentingan dengan hasil akhir Pemilukada sangat berpeluang untuk memobilisasi aparatnya dan menggunakan infrastruktur birokrasi demi mengegolkan syahwat politiknya.

     Pada babak inilah, penempatan birokrasi sebagai mesin politik berpotensi menjadi sebuah kelaziman. Apalagi, beberapa nama yang telanjur mengemuka dalam bursa cabup/cawabup maupun cawali/cawawali posisinya sangat dekat dengan sumbu kekuasaan di masing-masing daerah. Soliditas PNS pun rentan terhadap pengklasifikasian peta konstituen yang disusun oleh masing-masing kubu tim sukses.

     Adanya syahwat politik dalam benak aparatur negara di lingkungan birokrasi menciptakan atmosfer kinerja yang tidak harmonis, bahkan saling mencurigai dan menjatuhkan. Pada momentum ini, kualitas pelayanan publik pun berpotensi mengalami dekadensi. Lebih ironis lagi apabila dalam kelindan politik tersebut, para kandidat ‘mengoptimalkan’ APBD dan fasilitas negara untuk tujuan politik pribadi.

     Potensi ‘optimalisasi’ APBD dan fasilitas negara ini biasanya dilakukan dengan modus operandi mengkorupsi dan pengklaiman program-program tertentu pemerintah daerah seakan bisa diluncurkan atas perjuangan nama atau kekuatan politik tertentu.

     Penggunaan birokrasi sebagai mesin politik benar-benar berpotensi menjadi nyata di depan mata mengingat nihilitas kewibawaan lembaga pengawas internal PNS (Bawasda) dan eksternal (Panwaslu) untuk memberi sanksi hukum yang tegas dan keras terhadap birokrat yang terlibat sebagai alat politik kubu tertentu dalam pemilukada. Faktanya, selama ini kasus-kasus yang menunjukkan ketidaknetralitan PNS tidak pernah jelas ujung-pangkalnya.

     Padahal, dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, telah mengatur aparatur negara untuk netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, tidak diskriminatif pelayanan publik, dan dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik tertentu. Pelanggaran terhadap UU ini menuai sanksi tegas berupa pemberhentian sebagai PNS.

     Merujuk pada UU ini, semestinya para PNS sebagai infrastruktur yang menjadi model pembelajaran bagi publik pun patuh dan menempatkan arena politik praktis sebagai wilayah terlarang (forbidden district).

     UU yang mengatur netralitas PNS dalam politik praktis selama ini tidak bisa ditegakkan secara penuh karena minimnya political will dari pemerintah pusat maupun daerah untuk berani katakana “tidak” pada penggunaan birokrasi sebagai mesin politik. Ironisnya, realita yang ada justru menunjukkan betapa birokrasi dalam setiap kompetisi politik justru garda depan mesin politik. Apalagi, jika kandidat yang bersyahwat politik adalah adalah incumbent dan atau pribadi yang memiliki hubungan keluarga dengan incumbent, seperti istri, adik, anak, keponakan, dll.

     Ke-afdhal-an penggunaan birokrasi sebagai mesin politik didasari oleh potensi strategis yang melekat di tubuh birokrasi itu sendiri. Birokrasi memiliki modal soliditas, sederet perangkat, fasilitas, akses dan anggaran paling mapan di antara elemen-elemen publik yang lain, seperti organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, organisasi ekonomi, bahkan organisasi politik itu sendiri. Potensi strategis yang melekat pada eksistensi birokrasi kita pasti lebih mujarab didayagunakan untuk mendongkrak elektabilitas ketimbang elemen-elemen publik yang lain.

     Potensi strategis yang melekat pada eksistensi birokrasi inilah yang menjadi rahasia kesuksesan kandidat-kandidat incumbent dalam gelaran pemilukada di wilayah Jawa Timur sebelum-sebelumnya. Pengalaman politik mereka menjadi ‘pelajaran berharga’ warga Jawa Timur yang tahun depan berkehendak menyalurkan syahwat politiknya agar sukses menduduki kursi orang nomor satu-nomor dua di daerahnya masing-masing.

     Rentannya penggunaan birokrasi sebagai mesin politik semua elemen publik untuk bersinergi fokus menempatkan ruang pandang secara ketat pada sepak terjang para kandidat bersama tim suksesnya, terutama dari yang beraroma incumbent. Komitmen ini hendaknya juga diikuti oleh institusi pengawasan di internal birokrasi, Bawaslu, Panwaslu, LSM, dan media massa di masing-masing daerah. Komitmen ini seyogyanya juga didasari ekspektasi luhur yaitu tegaknya aturan perundang-undangan agar kualitas demokrasi lebih baik.

 

 

**************

 

*) Litbang LBTI, Pemerhati Birokrasi Kota Malang